Ting…Tong…
“….Buuuuu…..kulonuwun…..”
“…Buuuuu…sayur
bu….”
Suara tukang sayur gendong langganan
ibu saya terdengar dari teras depan.
Mbak
Kenti nama penjual sayur gendong itu. Dia sudah menjadi langganan ibu saya
sejak kami pindah ke desa Nuren yang
terletak di tepi jalan raya menuju Kopeng. Seingat saya, dia sudah mulai
menawarkan dagangannya sejak tahun 1990. Sejak saya masih kuliah.
Ibu saya bercerita, mbak Kenti,
tinggal jauh dari tempat dia berkeliling menawarkan dagangannya. Dia
berjalankan kaki pulang pergi. Perjalanan jauh berkilo-kilometer, menawarkan
dagangannya dari satu pintu ke pintu lain, membuat dia baru sampai rumah ibu
saya sekitar jam 2 atau 3 siang.
Jika dia mulai berangkat dari rumah
saat setelah subuh, dan jam 2 masih menawarkan sayuran dagangannya…bisa
diperkirakan jarak tempuh perjalanannya yang sangat jauh. Pada jam itu, tentu
saja sayuran yang dia tawarkan tidak lagi sesegar saat masih pagi. Ibu saya
tidak pernah tega menolak dagangannya. Walau hanya sekedar membeli sayur bayam
yang mulai layu, ibu saya tetap bersedia membelinya. Paling tidak dari rumah
ibu saya, mbak Kenti berhasil mengantongi Rp 5,000,-
Tahun lalu saya datang mengunjungi ibu saya dan menginap
selama beberapa hari disana.Kebetulan anak-anak diajak papanya menginap di vila
sepupunya. Seperti saat kuliah, saya
memilih tidur bersama ibu saya di kamarnya. Siang itu saat saya masih
bermalas-malasan di kamar ibu, saya dikejutkan oleh seorang wanita yang
mengintip ke dalam rumah dari jendela kamar ibu saya. Dengan kaget saya berlari
keluar kamar dan langsung menemui ibu saya yang sedang memasak di dapur.
"Bu,
ada perempuan yang ngintip dari jendela kamar ibu"
Dengan
tenang ibu saya berkata, "Oh itu mbak Kenti. Dia biasa ngintip gitu
sebelum membunyikan bel. Kamu inget mbak Kenti kan? Dia sudah jual sayuran
keliling sejak kamu masih kuliah"
Iya
saya ingat mbak Kenti. Saat kami baru pindah ke desa Nuren, kami selalu
berlangganan sayur pada mbak Kenti. Dia selalu membawa jajanan pasar murah meriah yang kami suka. Mbak Kenti sudah
berjualan sejak muda, sejak belum ada si mamang, tukang sayur keliling yang
menggunakan motor.
Dengan bergesernya waktu, mbak Kenti
mulai mendapat persaingan ketat dari penjual sayur lainnya, Salah satu pesaingnya adalah si mamang yang
masih muda, pakai motor, membawa dagangan yang lebih banyak dan komplit, dan
yang pasti, si mamang sudah sampai di rumah ibu saya pada jam 8 pagi Namun mbak Kenti pantang menyerah. Dia tetap berkeliling
ke desa-desa yang dia lewati menawarkan sayuran yang dia bawa tanpa kenal
lelah, panas dan hujan tidak menghalangi langkah kaki kurusnya untuk terus
berjalan.
Bulan
lalu saya kembali menginap di rumah ibu saya untuk melepas kangen. Selama tiga
hari saya disana, saya tidak melihat sosok mbak Kenti yang mengintip ke jendela
kamar ibu atau membunyikan bel rumah. Kemudian saya bertanya pada ibu saya,
“Bu, tumben mbak Kenti nggak keliatan beberapa hari ini?”
“Kayaknya mbak Kenti lagi rewang di tetangganya yang
punya hajatan”, jawab ibu. Lalu meluncurlah cerita ibu tentang mbak Kenti yang
tidak pernah putus asa dalam mencari nafkah, bertahun-tahun menjalani
profesinya tanpa pernah kenal lelah dan mengeluh. Ibu juga bercerita, saat saya
menikah 20 tahun lalu, mbak Kenti juga hadir dan menyelipkan amplop berisi uang
ke tangan ibu saya. Di desa tempat tinggal ibu saya, jika ada salah satu warga
yang menikahkan anaknya, maka para tetangga jauh dan dekat akan datang memberi
selamat tanpa perlu kita buatkan daftar undangan. Mbak Kenti menghadiri perkawinan saya karena
mengenal keluarga kami dan memberikan amplop yang mungkin berisi keuntungan
berjualannya selama 10 hari. Bagi kami, kehadiran tetangga-tetangga kami sudah
merupakan kebahagiaan tersendiri tanpa perlu ada amplop sebagai bentuk mereka
ikut merasakan kebahagiaan kami.
Hari ini saya duduk di teras rumah ibu menunggu
kedatangan mbak Kenti, saya ingin mengulang kenangan masa kuliah, mencari jajan
pasar yang murah meriah dari gendongan mbak Kenti, makan jajanan tersebut sambil
mengobrol. Dari jauh saya melihat sosok kurus membawa tenggok yang digendong di
punggungnya dengan menggunakan jarit, berjalan memasuki halaman rumah ibu saya,
memakai sendal jepit yang sudah tipis, namun tetap menebarkan senyumannya yang
khas. Tanpa menunjukan wajah kelelahan dia berkata, “Sayur bu...”